Patah
hati ! ternyata kata itu sudah biasa bagiku. Dua kata yang amat dihindari oleh
orang banyak. Bahkan orang gila sekalipun, tidak menginginkan yang namanya
Patah Hati ! Jelas, patah hati itu sakit. Sakit sekali, seperti ditusuk oleh
ribuan jarum. Dan aku sudah terbiasa dengan rasa itu.
Aku
memandang rumput kecil dihalaman, mencoba mengingat kembali sejak kapan aku
Patah hati. Dan mulai terbiasa dengan kata itu ? tapi, rasanya sulit bagiku
mengingat semuanya. Yang jelas sakit itu telah menjadi temanku. Aku patah hati,
bukan karena aku ditolak, apalagi di khianati oleh seseorang. Melainkan, karena
diam ku.
Aku…
terbiasa diam ketika kumencintai seseorang. Tidak berani mengatakannya, apalagi
memperlihatkan rasa cintaku kepadanya. Sehingga, aku jatuh dan terpuruk. Dan
hanya bisa mencintai tanpa dicintai. Aku tidak tahu kenapa selalu seperti ini.
Apa karena aku gadis yang pemalu atau aku terlalu bodoh ? menahan semua gejolak
rasa yang terus datang tanpa diminta. Aku hanya bisa mencuri pandang ketika ia
tidak melihatku atau aku hanya bisa menatapnya dari jarak yang sangat jauh.
Seperti
saat ini, ditaman tempat aku berpijak sekarang, aku hanya bisa menatapnya dari
jauh. Memperhatikannya dengan rasa yang terus berpacu seperti kuda. Tapi
lagi-lagi kukatakan, aku sudah terbiasa dengan rasa dan keadaan ini. Ku alihkan
pandanganku, menatap kembali rumput-rumput kecil. Terkadang aku berfikir,
kenapa kisah percintaanku selalu berakhir seperti ini. Berakhir tanpa
kejelasan. Karena diamku. Jika terus-terusan seperti ini, sampai kapanpun, akan
terus begini. Bukan orang lain yang membuat aku patah hati. Tapi diriku sendiri
yang membuat keadaan ini semua berantakan. Jujur ku akui, aku tidak seberani
mereka, yang bisa mengatakan lebih dulu. Karena aku bukanlah mereka. Dan kukatakan
lagi, walaupun aku sudah terbiasa dengan rasa ini, tapi aku tetap sakit !.
bertambah sakit lagi ketika aku melihatnya kini sedang berdua-duaan dengan
seorang gadis yang jauh lebih cantik dariku. Dan jelas ini membuat nyaliku
menciut dan aku mengaku mundur perlahan-lahan, karena aku sadar aku tidak
sebanding dengan gadis itu. tanpa sadar airmataku jatuh. Ini kesekian kalinya
aku menangis, menangisi dirinya yang sedang berbahagia.
“
kalau kamu memang cinta, ungkapkan aja jangan pernah dipendam “
Aku
melihat siapa yang berbicara. Tersirat senyuman indah diwajahnya. Aku berusaha
menahan airmata ini agar tidak jatuh. Namun, lelaki yang ada disampingku segera
mendekapku.
“
sakit kak, hati aku sakit. Kenapa aku selalu mendapatkan rasa sakit ini, apa
aku tak layak untuk dicintai ? “ uajrku terbata dengan airmata yang terus
bercucuran. Lelaki yang kupanggil kakak itu pun mengusap punggungku sambil
mencium kepalaku yang ditutupi oleh jilbab putihku. “ aku sayang dia, tapi aku
tidak berani mengatakannya “ lanjutku
Dilepaskannya
pelukkannya. Ditatapnya mataku amat dalam dengan senyuman yang tak pernah lepas
dari wajahnya.
“
mencintai, bukan harus memilikinya. Nikmati saja rasa yang datang padamu,
karena saat kau menikmatinya, rasa itu akan seperti teman bukan beban. Hingga
satu saat rasa itu akan berhenti dan menepi, karena ia telah menemukan yang
pas. Kakak yakin, kamu adalah gadis yang kuat “
Aku
terdiam, dan merenungi setiap kata-katanya. Jika seperti itu, maka akan aku
lakukan. Menikamatinya dan membiasakannya untuk menjadi teman bukan beban